Penampilan makanan, termasuk warnanya, sangat berpengaruh untuk
menggugah selera. Penambahan zat pewarna pada makanan bertujuan agar
makanan lebih menarik. Zat pewarna sendiri secara luas digunakan di
seluruh dunia. Di Indonesia, sejak dahulu orang banyak menggunakan
pewarna makanan tradisional yang berasal dari bahan alami, misalnya
kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau dan daun jambu
untuk warna merah. Pewarna alami ini aman dikonsumsi namun mempunyai
kelemahan, yakni ketersediaannya terbatas dan warnanya tidak homogen
sehingga tidak cocok digunakan untuk industri makanan dan minuman.
Penggunaan bahan alami untuk produk massal akan meningkatkan biaya
produksi menjadi lebih mahal dan lebih sulit karena sifat pewarna alami
tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil. Kemajuan
teknologi pangan pangan memungkinkan zat pewarna dibuat secara sintetis.
Dalam jumlah yang sedikit, suatu zat kimia bisa memberi warna yang
stabil pada produk pangan. Dengan demikian produsen bisa menggunakan
lebih banyak pilihan warna untuk menarik perhatian konsumen.
Berikut ini beberapa alasan utama menambahkan zat pewarna pada makanan (Syah et al. 2005) :
1. Untuk memberi kesan menarik bagi konsumen.
2. Menyeragamkan warna makanan dan membuat identitas produk pangan.
3. Untuk menstabilkan warna atau untuk memperbaiki variasi alami
warna. Dalam hal ini penambahan warna bertujuan untuk untuk menutupi
kualitas yang rendah dari suatu produk sebenarnya tidak dapat diterima
apalagi bila menggunakan zat pewarna yang berbahaya.
4. Untuk menutupi perubahan warna akibat paparan cahaya, udara atau
temperatur yang ekstrim akibat proses pengolahan dan selama penyimpanan.
5. Untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh sinar matahari selama produk disimpan.
Zat pewarna pada makanan secara umum digolongkan menjadi dua kategori
yaitu zat pewarna alami dan zat pewarna sintetis. Zat pewarna alami
merupakan zat pewarna yang berasal dari tanaman atau buah-buahan. Secara
kuantitas, dibutuhkan zat pewarna alami yang lebih banyak daripada zat
pewarna sintetis untuk menghasilkan tingkat pewarnaan yang sama. Pada
kondisi tersebut, dapat terjadi perubahan yang tidak terduga pada
tekstur dan aroma makanan. Zat pewarna alami juga menghasilkan
karakteristik warna yang lebih pudar dan kurang stabil bila dibandingkan
dengan zat pewarna sintetis. Oleh karena itu zat ini tidak dapat
digunakan sesering zat pewarna sintetis (Lee 2005).
Zat pewarna sintesis merupakan zat pewarna buatan manusia. Zat
pewarna sintetis seharusnya telah melalui suatu pengujian secara
intensif untuk menjamin keamanannya. Karakteristik dari zat pewarna
sintetis adalah warnanya lebih cerah, lebih homogen dan memilliki
variasi warna yang lebih banyak bila dibandingkan dengan zat pewarna
alami. Di samping itu penggunaan zat pewarna sintetis pada makanan bila
dihitung berdasarkan harga per unit dan efisiensi produksi akan jauh
lebih murah bila dibandingkan dengan zat pewarna alami. Para konsumen
pun hendaknya selalu mendapatkan informasi tentang komponen-komponen
yang terkandung dalam zat pewarna sintetis tersebut (Lee 2005).
Tabel perbedaan antara zat pewarna sintetis dan alami
Pembeda | Zat pewarna Sintetis | Zat pewarna alami |
Warna yang dihasilkan | Lebih cerahLebih homogen | Lebih pudarTidak homogen |
Variasi warna | Banyak | Sedikit |
Harga | Lebih murah | Lebih mahal |
Ketersediaan | Tidak terbatas | Terbatas |
Kestabilan | Stabil | Kurang stabil |
Pemerintah sendiri telah mengatur penggunaan zat pewarna dalam
makanan. Namun demikian masih banyak produsen makanan, terutama
pengusaha kecil, yang menggunakan zat-zat pewarna yang dilarang dan
berbahaya bagi kesehatan, misalnya rhodamine B sebagai pewarna untuk
tekstil atau cat yang pada umumnya mempunyai warna yang lebih cerah,
lebih stabil dalam penyimpanan, harganya lebih murah dan produsen pangan
belum menyadari bahaya dari pewarna tersebut.
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bahaya penggunaan
zat pewarna untuk tekstil yaitu rhodamine B sebagai zat pewarna pada
makanan.
PEMBAHASAN
Dewasa ini keamanan penggunaan zat pewarna sintetis pada makanan
masih dipertanyakan di kalangan konsumen. Sebenarnya konsumen tidak
perlu khawatir karena semua badan pengawas obat dan makanan di dunia
secara kontinyu memantau dan mengatur zat pewarna agar tetap aman
dikonsumsi. Jika ditemukan adanya potensi risiko terhadap kesehatan,
badan pengawas obat dan makanan akan mengevaluasi pewarna tersebut dan
menyebarkan informasinya ke seluruh dunia. Pewarna yang terbukti
mengganggu kesehatan, misalnya mempunyai efek racun, berisiko merusak
organ tubuh dan berpotensi memicu kanker, akan dilarang digunakan. Di
Indonesia tugas ini diemban oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Baik zat pewarna sintetis maupun alami yang digunakan dalam industri
makanan harus memenuhi standar nasional dan internasional.
Penyalahgunaan zat pewarna melebihi ambang batas maksimum atau
penggunaan secara ilegal zat pewarna yang dilarang digunakan dapat
mempengaruhi kesehatan konsumen, seperti timbulnya keracunan akut dan
bahkan kematian. Pada tahap keracunan kronis, dapat terjadi gangguan
fisiologis tubuh seperti kerusakan syaraf, gangguan organ tubuh dan
kanker (Lee 2005).
Rhodamine B
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamine B
termasuk salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai zat pewarna
berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan (Syah et al. 2005).
Namun demikian, penyalahgunaan rhodamine B sebagai zat pewarna pada
makanan masih sering terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa
media massa. Sebagai contoh, rhodamine B ditemukan pada makanan dan
minuman seperti kerupuk, sambal botol dan sirup di Makassar pada saat
BPOM Makassar melakukan pemeriksaan sejumlah sampel makanan dan minuman
ringan (Anonimus 2006).
Rhodamine B termasuk zat yang apabila diamati dari segi fisiknya
cukup mudah untuk dikenali. Bentuknya seperti kristal, biasanya berwarna
hijau atau ungu kemerahan. Di samping itu rhodamine juga tidak berbau
serta mudah larut dalam larutan berwarna merah terang berfluorescen.
Zat pewarna ini mempunyai banyak sinonim, antara lain D and C Red no
19, Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizen Rhodamine dan Brilliant Pink B.
Rhodamine biasa digunakan dalam industri tekstil. Pada awalnya zat ini
digunakan sebagai pewarna bahan kain atau pakaian. Campuran zat
pewarna tersebut akan menghasilkan warna-warna yang menarik. Bukan
hanya di industri tekstil, rhodamine B juga sangat diperlukan oleh
pabrik kertas. Fungsinya sama yaitu sebagai bahan pewarna kertas
sehingga dihasilkan warna-warna kertas yang menarik. Sayangnya zat yang
seharusnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan kertas tersebut
digunakan pula sebagai pewarna makanan.
Penggunaan zat pewarna ini dilarang di Eropa mulai 1984 karena
rhodamine B termasuk karsinogen yang kuat. Efek negatif lainnya adalah
menyebabkan gangguan fungsi hati atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya
kanker hati (Syah et al. 2005). Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa zat pewarna tersebut memang berbahaya bila digunakan pada makanan.
Hasil suatu penelitian menyebutkan bahwa pada uji terhadap mencit,
rhodamine B menyebabkan terjadinya perubahan sel hati dari normal
menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami disintegrasi.
Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan adanya piknotik (sel yang
melakukan pinositosis) dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak
dan sitolisis dari sitoplasma (Anonimus 2006).
Dalam analisis yang menggunakan metode destruksi yang kemudian
diikuti dengan analisis metode spektrofometri, diketahui bahwa sifat
racun rhodamine B tidak hanya disebabkan oleh senyawa organik saja
tetapi juga oleh kontaminasi senyawa anorganik terutama timbal dan arsen
(Subandi 1999). Keberadaan kedua unsur tersebut menyebabkan rhodamine B
berbahaya jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat maupun
kosmetik sekalipun. Hal ini didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan
bahwa timbal memang banyak digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna
dalam industri kosmetik dan kontaminasi dalam makanan dapat terjadi
salah satu diantaranya oleh zat pewarna untuk tekstil.
KESIMPULAN
Penambahan zat pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan
menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna
dan menutupi perubahan warna selama penyimpanan. Penambahan zat pewarna
rhodamine B pada makanan terbukti mengganggu kesehatan, misalnya
mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi memicu
kanker. Oleh karena itu rhodamine B dinyatakan sebagai pewarna
berbahaya dan dilarang penggunannya. Pemerintah sendiri telah mengatur
penggunaan zat pewarna dalam makanan. Namun demikian masih banyak
produsen makanan, terutama pengusaha kecil, yang menggunakan zat-zat
pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya pewarna
untuk tekstil atau cat yang pada umumnya mempunyai warna yang lebih
cerah, lebih stabil dalam penyimpanan, harganya lebih murah dan produsen
pangan belum menyadari bahaya dari pewarna-pewarna tersebut.
SARAN
Alternatif lain untuk menggantikan penggunaan zat pewarna sintetis
adalah dengan menggunakan pewarna alami seperti ekstrak daun suji,
kunyit dan ekstrak buah-buahan yang pada umumnya lebih aman. Di samping
itu masih ada pewarna alami yang diijinkan digunakan dalam makanan
antara lain caramel, beta-karoten, klorofil dan kurkumin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2006. Rhodamine B ditemukan pada makanan dan minuman di Makassar. Republika Kamis 5 Januari 2006. http://www.republika.co.id/online_detail.asp?=229881&kat_id=23. [30 September 2006].
Lee TA, Sci BH, Counsel. 2005. The food from hell: food colouring.
The Internet Journal of Toxicology. Vol 2 no 2. China: Queers Network
Research.
Syah et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Subandi. 1999. Penelitian kadar arsen dan timbal dalam pewarna
rhodamine B dan auramine secara spektrofotometri: Suatu penelitian
pendahuluan. http://www.malang.ac.id/jurnal/fmipa/mipa/1999a.htm. [30 September 2006 ]
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Sumber: drh. WINA LISTIANA
0 comments :
Post a Comment