Bila kita melakukan penelitian yang terinci tentang seseorang (individu) atau sesuatu unit sosial selama kurun waktu tertentu, kita melakukan apa yang disebut studi kasus. Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu (Sevilla dkk., 1993). Di samping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi, studi kasus, dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian. Sebuah definisi yang lebih tegas dan bersifat teknis sehingga sangat membantu tentang studi kasus diberikan oleh Robert Yin (1996), yang menyebutkan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana: multi sumber bukti dimanfaatkan.
Bila kita melakukan penelitian yang terinci tentang seseorang (individu) atau sesuatu unit sosial selama kurun waktu tertentu, kita melakukan apa yang disebut studi kasus. Metode ini akan melibatkan kita dalam penyelidikan yang lebih mendalam dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu (Sevilla dkk., 1993). Di samping itu, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi, studi kasus, dalam khazanah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, kekinian. Sebuah definisi yang lebih tegas dan bersifat teknis sehingga sangat membantu tentang studi kasus diberikan oleh Robert Yin (1996), yang menyebutkan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana: multi sumber bukti dimanfaatkan.
Sementara itu,pakar metodologi penelitian Robert Yin (1996), mengintrodusir studi kasus itu lebih banyak berkutat pada atau berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan "how" (bagaimana) dan "why" (mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan "what" (apa/apakah), dalam kegiatan penelitian. Menurut Yin, menentukan ripe pertanyaan penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam setiap penetitian, sehingga untuk tugas ini dituntut adanya kesabaran dan persediaan waktu yang cukup. Kuncinya adalah memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan penelitian selalu memiliki substansi (misalnya, mengenai apakah sebenarnya penelitian saya ini?) dan bentuk (misalnya, apakah saya sedang mempertanyakannya "siapakah", "apakah", "di manakah", atau "bagaimanakah").
2. Keunikan Studi Kasus
Sebagai sebuah metode, studi kasus memiliki keunikan atau keunggulan tersendiri dalam kancah penelitian sosial. Secara umum studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Itulah kekuatan utama sebagai karakteristik dasar dari studi kasus. Secara lebih rinci studi kasus mengisyaratkan keunggulankeunggulan berikut:
a. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-konsep serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas
b. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan/diduga sebelumnya;
c. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Di samping tiga keunggulan di atas, studi kasus dapat memiliki keunggulan spesifik lainnya, seperti dilansir oleh Black dan Champion (1992), yakni: (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori; dan (5) studi kasus bisa sangat murah, bergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe teknik pengumpulan data yang digunakan.
Akan tetapi, di samping keunggulan-keunggulan yang ditawarkan studi kasus ternyata juga mengandung sejumlah kelemahan yang harus disadari oleh peneliti. Kelemahan-kelemahan itu adalah, misalnya: Pertama, studi kasus, setidaknya yang dilakukan selama ini, agak kurang memberikan dasar yang kuat untuk melakukan suatu generalisasi ilmiah; Kedua, kedalaman studi yang dilakukan tanpa banyak disadari ternyata justru mengorbankan tingkat keluasan yang seharusnya dilakukan, sehingga sulit digeneralisasikan pada keadaan yang berlaku umum. Ketiga, ada kecenderungan studi kasus kurang mampu mengendalikan bias subjektifitas peneliti. Kasus yang dipilih untuk diteliti, misalnya, cenderung lebih karena sifat dramatiknya, bukan karena sifat khas yang dimilikinya. Dengan demikian subjektifitas peneliti dikhawatirkan terlalu jauh mencampuri hasil penelitian.
Meskipun kelemahan-kelemahan tersebut dicoba ditepis oleh Yin berikut memberikan alternatif yang harus ditempuh, tak pelak kesan "stereotip" demikian masih saja melekat atau dilekatkan oleh para peneliti sosial terhadap studi kasus. Tetapi terlepas dari kesan atas sejumlah kelemahan yang menyelimuti raut wajah studi kasus itu, Yin (1996) mencoba menyiasatinya dengan mengajukan tawaran "cerdas" dalam melakukan studi kasus. Dia menyebut tawarannya itu sebagai terobosan yang pada gilirannya membuat hasil studi kasus sebagai suatu yang patut diteladani. Terobosan alternatif yang dimaksud adalah: Pertama, studi kasus harus signifikan. Artinya, kasus yang diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat umum. Karena itu bukan karena sifat dramatiknya belaka. Kedua, studi kasus harus "lengkap". Kelengkapan ini dirincikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu. Dengan kata lain, meski menghadapi berbagai keterbatasan, kasus yang diangkat haruslah diselesaikan dengan tuntas. Untuk masalah yang disebutkan terakhir ini peneliti harus membuat desain studi kasus sedemikian rupa dengan mengingat berbagai keterbatasan yang sangat boleh jadi akan muncul. Ketiga, studi kasus mempertimbangkan alternatif perspektif. Bahwa kemungkinan munculnya bukti-bukti dan/atau jawaban yang berbeda dari perspektif yang berbeda harus dapat diantisipasi dengan baik, misalnya dengan membuat desain yang dapat memberikan tempat bagi berbagai alternatif pandangan termasuk dari teori-teori yang berlainan. Keempat, studi kasus harus menampilkan bukti yang memadai dan secara bijak mendukung atas kasus yang diteliti. Kelima, laporan hasH studi kasus haruslah ditulis dengan cara yang menarik dan menggugah minat pembaca. Gaya penulisannya hendaklah jelas sehingga rasa ingin tahu orang lain untuk membacanya. Karena itu, penulisan laporan dalam studi kasus tidak selayaknya disajikan hanya dengan menggelar data-data yang melimpah saja dan kemudian membosankan bahkan menimbulkan kesan bahwa membacanya terlalu banyak menguras tenaga dan memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian teknik penyajian dan penulisan yang menarik sungguh penting dalam laporan penelitian, khususnya dalam studi kasus.
3. Tipe-tipe Studi Kasus dan Implementasinya dalam Penelitian
Bogdan dan Biklen (1982), mencoba mengklasifikasikan tipe-tipe studi kasus ke dalam enam tipologi. Keenam tipologi ini merupakan single case studies, studi kasus tunggal.
Pertama, studi kasus kesejarahan sebuah organisasi. Yang dituntut dalam studi kasus jenis ini adalah pemusatan perhatian mengenai perjalanan dan perkembangan sejarah organisasi sosial tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Melakukan studi macam ini selain memerlukan sumber-sumber informasi dan bahan-bahan yang akurat dan terpercaya, juga membutuhkan kecermatan dalam merinci secara sistematik perkembangan dari tahap-tahap sebuah organisasi sosial. Untuk memastikan ketersediaan bahan-bahan dan sumber informasi yang diper-lukan, agaknya penting studi pendahuluan dalam studi kasus tipe pertama ini.
Kedua, studi kasus observasi. Yang lebih ditekankan di sini adalah kemampuan seorang peneliti menggunakan teknik observasi dalam kegiatan penelitian. Dengan teknik observasi seperti ini diharapkan dapat dijaring keterangan-keterangan empiris yang detail dan aktual dari unit analisis atau unit pemikiran (thinking unit) penelitian, apakah itu menyangkut kehidupan individu maupun unit-unit sosial tertentu dalam masyarakat.
Ketiga, studi kasus sejarah kehidupan (life history). Studi ini mencoba menyingkap dengan lengkap dan rinci kisah perjalanan hidup seseorang sesuai dengan tahap-tahap, dinamika dan liku-liku yang mengharu biru kehidupannya. Seseorang yang dimaksud tentu tidak sembarang orang melainkan yang memiliki keunikan yang menonjol dan luar biasa dalam konteks kehidupan masyarakat. Misalnya, tentang kehadirannya memberi makna tersendiri sekaligus sangat mewarnai perubahan-perubahan dalam masyarakat. Melakukan studi kasus life history ini dapat bersandar pada dokumen-dokumen pribadi yang bersangkutan serta dengan melakukan wawancara mendalam kepada orang pertama sebagai sumber utama.
Keempat, studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan. Seorang peneliti yang berpengalaman serta memiliki kepekaan dan ketajaman naluriah sebagai peneliti seringkali mampu melihat sisi-sisi unik tapi bermakna dari lingkungan sosial sekitarnya di dalam komunitas di mana dia hidup dan bergaul sehari-hari. Kenyataan tersebut dapat dijadikan pusat perhatian untuk melakukan studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan.
Kelima, studi kasus analisis situasional. Kehidupan sosial yang dinamis dan selalu menggapai perubahan demi perubahan tentu saja mengisyaratkan adanya letusan-letusan situasi dalam bentuk peristiwa-peristiwa atau katakanlah fenomena sosial tertentu. Misalnya, krisis politik yang melanda negeri ini disertai berbagai isu berseliweran tak karuan seperti akan ada kerusuhan, penjarahan massal dan sebagainya, telah membuat orang-orang keturunan Cina di berbagai kota besar ramai-ramai mengungsi ke kota lain yang dianggap aman bahkan tidak sedikit yang keluar negeri. Contoh lain, datangnya era reformasi di tengah badai krisis ekonomi dan politik saat ini justru disikapi oleh kalangan elite masyarakat dengan mendirikan partai politik. Fenomena demikian sesungguhnya menggambarkan sebuah situasi sosial macam apa? Hal ini menarik diteliti untuk menggambarkan sebuah situasi sosial yang telah dan tengah berlangsung.
Keenam, studi kasus mikroemografi. Studi kasus tataran ini dilakukan terhadap sebuah unit sosial terkecil. Katakanlah sebuah sisi tertentu dalam kehidupan sebuah komunitas atau organisasi atau bahkan seorang individu.
Sementara itu, Yin (1996), secara tegas mengkategorikan studi kasus ke dalam tiga tipologi, yakni: studi kasus ekplanatoris, eksploratoris, dan deskriptif. Yin meletakkan ketiga tipologi ini berdasarkan jenis pertanyaan yang harus dijawab dalam studi kasus, yakni pertanyaan "how" (bagaimana) dan "why" (mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan "what" (apa/apakah). Dengan mengedepankan tiga tipologi tersebut, Yin sekaligus menolak anggapan (atau yang menurutnya kesalahpahaman umum) bahwa studi kasus hanya cocok diterapkan dalam penelitian yang bersifat eksploratoris, tidak dalam konteks penelitian yang bersifat eksplanatoris dan deskriptif. Sejalan dengan Yin, Sevilla dkk. (1993) misalnya, meletakkan studi kasus sebagai penelitian yang bersifat deskriptif. Untuk mendukung argumentasinya, Yin menyebut salah satu karya bermutu dan terkenal yang dihasilkan melalui studi kasus. Sebuah buku yang ditulis oleh William F. White (1943), Street Comer Society, dikedepankannya sebagai contoh sebuah karya klasik dalam sosiologi komunitas dari studi kasus yang bersifat deskriptif. Juga, karya Graham Allison (1971), Essence of Decision Making: Eksplaining the Missile Crisis, sebagai contoh studi kasus eksplanatoris.
4. Desain Studi Kasus
Selanjutnya, bagaimana implementasi studi kasus dalam kegiatan penelitian ? Dengan kata lain, desain macam apakah yang harus dirancang dalam melakukan studi kasus? Dalam hubungan ini, desain yang hendak diketengahkan di sini mengacu pada model yang dikembangkan Robert Yin. Bagi Yin, sebelum membangun desain seorang peneliti perlu memperhatikan empat aspek kualitas, yakni validitas konstruk (menetapkan ukuran operasional yang benar untuk konsep-konsep yang akan diteliti), validitas internal (credibility, menetapkan hubungan kausal, dan ini khusus untuk studi kasus eksplanatoris), validitas eksternal (transferability, menetapkan ranah di mana temuan suatu penelitian dapat divisua-lisasikan), dan reliabilitas (dependability, proses penelitian dapat diinterpretasikan, dengan hasil yang sarna).
Berkaitan dengan itu, Yin mengajukan lima komponen penting dalam desain studi kasus. Kelima komponen tersebut adalah:
a. pertanyaan-pertanyaan penelitian;
b. proposisi penelitian (jika diperlukan). Proposisi ini memberi isyarat kepada peneliti mengenai sesuatu yang harus diteliti dalam lingkup studinya
c. unit-unit analisis penelitian. Hal ini menunjuk pada apa sesungguhnya yang dimaksud harus ditentukan terlebih dahulu secara jelas;
d. logika yang mengaitkan data dengan proposisi; dan
e. kriteria untuk menginterpretasikan temuan. Kedua komponen yang disebutkan terakhir (4 & 5) menunjuk pada tahap-tahap analisis data dalam penelitian studi kasus.
Dalam studi kasus analisis data tampaknya jarang sekali didefinisikan secara tegas dan konkret. Dalam konteks ini, Yin menyarankan agar gagasan tentang "pola penjodohan" yang digunakan Donald Campbell dapat dijadikan acuan bagi kegiatan analisis data dalam penelitian studi kasus. Teknik "pola penjodohan" Campbell ini menggambarkan dua pola potensial yang menunjukkan bahwa data-data tersebut bersesuai satu sarna lain secara seimbang. Meminjam term pendekatan kuantitatif, "pola penjodohan” Campbell jika dipandang sebagai proposisi saingan menunjuk pada proposisi "ada pengaruh" dan proposisi "tak ada pengaruh". Selain itu, teknik analisis lainnya yang dapat digunakan dalam penelitian studi kasus adalah pem-buatan penjelasan dan analisis deret waktu.
Untuk mendesain penelitian studi kasus terdapat sekurang-kurangnya tiga macam rasionalitas yang harus diperhatikan, yakni:
a. Bahwa kasus-tunggal pada dasarnya analog dengan eksperimen tunggal (dalam penelitian kuantitatif). Dalam konteks ini sebuah rasional muncul ketika kasus itu tampak sebagai kasus renting dan relevan untuk menguji suatu teori yang diletakkan sebelumnya sebagai perspektif.
b. Sebuah kasus merefleksikan sesuatu yang ekstrem atau penuh keunikan sehingga menarik dan bermakna untuk ditelusuri;
c. Sebuah kasus yang dapat dikatakan sebagai kasus penyingkapan. Kasus semacam ini dapat ditemui seorang peneliti manakala ia berkesempatan memasuki suatu ranah sosial atau fenomena yang kurang diizinkan untuk diteliti secara alamiah. Sebuah contoh yang baik, dalam konteks ini, adalah basil studi Elliot Liebow (1967) dipublikasikan dengan judul Tally's Corner, yang menyingkap dengan menarik tentang kehidupan orang-orang kulit hitam yang menganggur di sebuah lingkungan sosial di Washington, D.C.
0 comments :
Post a Comment